TEORI ETOLOGI DAN EKOLOGI PADA PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK


A.    Teori Etologi
Istilah “etologi” diturunkan dari bahasa Yunani, sebagaimana ethos ialah kata Yunani untuk "kebiasaan". Etologi juga dikenal dengan istilah sosisobiologi yakni bidang studi ilmiah yang didasarkan pada asumsi bahwa perilaku sosial telah dihasilkan dari evolusi dan upaya untuk menjelaskan dan memeriksa perilaku sosial dalam konteks tersebut. Sering dianggap sebagai gabungan biologi dan sosiologi dimana sosiobiologi sangat erat bersekutu dengan bidang perilaku manusia dan psikologi evolusioner.
Etologi menekankan landasan biologis, dan evolusioner perkembangan. Penamaan (imprinting) dan periode penting (critical period) merupakan konsep kunci. Teori ini ditegakkan berdasarkan penelitian yang cermat terhadap perilaku binatang dalam keadan nyata. Pendirinya adalah Carl Von Frisch, seorang pecinta binatang. Bertahun-tahun ia memelihara berbagai macam binatang dan mengamati perilakunya. Percobaan yang dilakukan pada sekelompok itik dengan anak-anaknya adalah yang yang digunakan untuk menyusun teori ini. Ia pisahkan dua kelompok anak angsa, satu kelompok diasuh induknya dan satu kelompok lagi ia asuh sendiri. Setelah beberapa bulan kelompok anak angsa yang diasuhnya mengidentifikasi  Carl Von Frisch sebagai induknya. Kemanapun Carl Von Frisch pergi mereka selalu mengikuti. Suatu saat dipertemukan kelompok asuhnya dengan induk aslinya ternyata kelompok yang diasuh ini menolak induk aslinya.
Garis besar teori ini mengatakan pada dasarnya sumber dari semua perilaku sosial ada dalam gen. Ada insting dalam makhluk untuk mengembangkan perilakunya. Analogi yang dikemukakan adalah “genes setting the stage, and society writing the play”. Teori ini memberikan dasar bagi pemahaman periode kritis perkembangan dan perilaku melekat pada anak segera setelah dilahirkan. Kepekaan terhadap jenis pengalaman yang berbeda berubah sepanjang siklus kehidupan. Adanya atau tidak adanya pengalaman-pengalaman tertentu pada waktu tertentu selama masa hidup mempengaruhi individu dengan baik di luar waktu pengalaman-pengalaman itu pertama kali terjadi. Para etologi yakin bahwa kebanyakan pakar psikologi meremehkan pentingnya kerangka waktu khusus ini pada awal perkembangan dan peran yang kuat yang dimainkan evolusi dan landasan biologis dalam perkembangan.
Etologi lahir sebagai pandangan penting karena pekerjaan para pakar ilmu hewan Eropa, khususnya Konrad Lorenz (1903-1989). Etologi menekankan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh biologi terkait dengan evolusi, dan ditandai oleh periode yang penting atau peka. Konsep periode penting (critical period), adalah suatu periode tertentu yang sangat dini dalam perkembangan yang memunculkan perilaku tertentu secara optimal. Konsep etologi untuk belajar dengan cepat dan alamiah dalam satu periode waktu yang kritis yang melibatkan kedekatan dengan obyek yang dilihat bergerak pertama kali. Para Etologis adalah para pengamat perilaku yang teliti, dan mereka yakin bahwa laboratorium bukanlah setting yang baik untuk mengamati perilaku. Mereka mengamati perilaku secara teliti dalam lingkungan alamiahnya seperti : di rumah, taman bermain, tetangga, sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
Melalui penelitian yang sebagian besar dilakukan dengan angsa abu-abu, Lorenz (1965) mempelajari suatu pola perilaku yang dianggap diprogramkan di dalam gen burung. Seekor anak angsa yang baru ditetaskan tampaknya dilahirkan dengan naluri untuk mengikuti induknya. Pengamatan memperlihatkan bahwa anak angsa mampu berperilaku demikian segera setelah ditetaskan. Lorenz membuktikan bahwa tidak benar anggapan bahwa perilaku semacam itu diprogramkan terhadap binatang.
Menurut teori Etologi (Berndt, 1992) tingkah laku lekat pada anak manusia diprogram secara evolusioner dan instinktif. Sebetulnya tingkah laku lekat tidak hanya ditujukan pada anak namun juga pada ibu. Ibu dan anak secara biologis dipersiapkan untuk saling merespon perilaku.
Bowlby (Hetherington dan Parke,1999) percaya bahwa perilaku awal sudah diprogam secara biologis. Reaksi bayi berupa tangisan, senyuman, isapan akan mendatangkan reaksi ibu dan perlindungan atas kebutuhan bayi. Proses ini akan meningkatkan hubungan ibu dan anak. Sebaliknya bayi juga dipersiapkan untuk merespon tanda, suara dan perhatian yang diberikan ibu. Hasil dari respon biologis yang terprogram ini adalah anak dan ibu akan mengembangkan hubungan kelekatan yang saling menguntungkan (mutuality attachment).
Teori etologi juga menggunakan istilah “Psychological Bonding” yaitu hubungan atau ikatan psikologis antara ibu dan anak, yang bertahan lama sepanjang rentang hidup dan berkonotasi dengan kehidupan sosial (Bowley ,1992). Bowlby menyatakan bahwa kita dapat memahami tingkah laku manusia dengan mengamati lingkungan yang diadaptasinya yaitu : lingkungan dasar tempat berkembang.
Etologi sebagai sosiologi didasarkan pada premis bahwa beberapa perilaku (baik sosial dan individu) setidaknya sebagian diwariskan dan dapat dipengaruhi oleh seleksi alam. Ini dimulai dengan gagasan bahwa perilaku telah berevolusi dari waktu ke waktu, mirip dengan cara bahwa sifat-sifat fisik diperkirakan telah berevolusi. Ini memprediksi karena itu hewan akan bertindak dengan cara yang telah terbukti sukses evolusi dari waktu ke waktu, yang dapat antara lain menghasilkan pembentukan proses sosial yang kompleks yang kondusif untuk kebugaran evolusi. Melekat dalam penalaran sosiobiologis adalah gagasan bahwa gen tertentu atau kombinasi gen yang mempengaruhi ciri-ciri perilaku tertentu dapat diwariskan dari generasi ke generasi.
Sebuah dasar genetik untuk sifat-sifat perilaku naluriah kalangan non-spesies manusia, seperti dalam contoh di atas, umumnya diterima di kalangan banyak ahli biologi, namun mencoba untuk menggunakan dasar genetik untuk menjelaskan perilaku yang kompleks dalam masyarakat manusia tetap sangat kontroversial.
B.     Teori Ekologi
Teori etologis menempatkan tekanan yang kuat pada landasan perkembangan biologis. Berbeda dengan teori etologi, Urie Bronfenbrenner (1917) mengajukan suatu pandangan lingkungan yang kuat tentang perkembangan yang sedang menerima perhatian yang meningkat. Teori ekologi adalah pandangan sosiokultular Bronfenbrenner tentang perkembangan, yang terdiri dari 5 sistem lingkungan mulai dari masukan interaksi langsung dengan gen-gen sosial (social agent) yang berkembang baik hingga masukan kebudayaan yang berbasis luas. Kelima sistem dalam teori ekologis Bronfenbrenner ialah mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem dan kronosistem. Modal ekologis Bronfenbrenner (1979, 1986, 1989, 1993).
Mikrosistem, dalam teori ekologis Bronfenbrenner ialah setting dimana individu hidup. Konteks ini meliputi keluarga individu, teman-teman sebaya, sekolah dan lingkungan. Dalam mikrosistem inilah interaksi yang paling langsung dengan agen-agen sosial berlangsung. Misalnya orang tua, teman-teman sebaya, dan guru. Individu tidak dipandang sebagai penerima pengalaman yang pasif dalam setting ini, tetapi sebagai seseorang yang menolong membangun setting. Bronfenbrenner menunjukkan bahwa kebanyakan penelitian tentang dampak-dampak sosiokultural berfokus pada mikrosistem.
Mesosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau hubungan antar beberapa konteks. Contohnya ialah hubungan antara pengalaman keluarga dan pengalaman sekolah, pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan, dan pengalaman keluarga dengan pengalaman teman sebaya. Misalnya anak-anak yang orang tuanya menolak mereka dapat mengalami kesulitan mengembangkan hubungan positif dengan guru, para developmentalis semakin yakin pentingnya mengamati perilaku dalam setiing majemuk seperti keluarga, teman sebaya, dan konteks sekolah untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang perkembangan individu.
Ekosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner dilibatkan ketika pengalaman-pengalaman dalam setting sosial lain dimana individu tidak memiliki peran yang aktif mempengaruhi apa yang individu alami dalam konteks yang dekat. Misalnya pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang perempuan dengan suami dan anaknya. Seorang ibu dapat menerima promosi yang menuntutnya melakukan banyak perjalanan, yang dapat meningkatkan konflik perkawinan dan perubahan pola interaksi orang tua anak. Contoh lain ekosistem adalah pemerintah kota yang bertanggung jawab bagi kualitas taman, pusat-pusat rekreasi dan fasilitas perpustakaan bagi anak-anak dan remaja.
Makrosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi kebudayaan di mana individu hidup. Ingat bahwa kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan dan semua produk lain. Dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generas-generasi. Ingat juga bahwa studi lintas budaya, perbandingan antar satu kebudayaan dengan kebudayaan lain atau lebih kebudayaan lain, memberi informasi tentang generalitas perkembangan.
Kronosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa lingkungan dan transisi sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan sosiohistoris. Misalnya dalam mempelajari dampak perceraian terhadap anak-anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah perceraian dan bahwa dampaknya lebih negatif bagi anak laki-laki daripada anak perempuan. Dua tahun setelah perceraian, interaksi keluarga tidak begitu kacau lagi dan lebih stabil dengan mempertimbangkan keadaan-keadaan sosiohistoris, dewasa ini, kaum perempuan tampaknya sangat didorong untuk meniti karir dibandingkan pada 20 atau 30 tahun yang lalu. Dengan cara seperti ini, kronosistem memiliki dampak yang kuat pada perkembangan kita.

Comments

  1. mantap buat tambah referensi nih, terima kasih

    oh iya buat tambahan ilmu psikologi kk bisa baca2 blog saya

    psikologi untuk semua

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Perkembangan Fisik dan Psikomotorik

Education for All