TRADISI MEMBERI JAMUAN MAKANAN KEPADA PELAYAT, PENGGALI KUBUR, DAN JAMAAH TAHLIL
A.
Deskripsi Masalah
Sudah menjadi tradisi di masyarakat Indonesia terutama
orang-orang Jawa menyediakan hidangan bagi orang-orang yang bertakziah
dan bagi para penggali kubur, bahkan di sebagian daerah tidak afdol
rasanya jika kepergian orang tua menghadap Ilahi tidak disertai dengan
penyembelihan kambing untuk disedekahkan bagi para pelayat dan penggali kubur
menjelang pemberangkatan terakhir atau sesaat setelah mayyit dikuburkan. Jika
mereka tidak melakukan hal itu maka akan digunjing oleh para tetangga dan
dikatakan tidak berbakti kepada orang tua.
Tradisi semacam diatas juga terdapat di Dusun Sidomulyo Desa
Wates Kecamatan Wates Kabupaten Blitar. Masyarakat yang mayoritas muslim ini
juga menjalankan adat menghidangkan makanan bagi orang-orang yang bertakziah
dan para penggali kubur setelah ada salah satu dari anggota keluarga mereka yang meninggal dunia.
Tidak hanya itu, mereka juga melaksanakan tahlilan mulai hari pertama sampai
hari ke tujuh meninggalnya anggota keluarga yang juga di sertai dengan
menyediakan hidangan kepada jamaah tahlil tersebut.
Di Dusun Sidomulyo, tradisi tersebut masih dilaksanakan
hingga saat ini. Masyarakat menganggap makanan yang dihidangkan kepada orang
yang bertakziah merupakan wujud dari memulyakan tamu dan sebagai sedekah yang
pahalanya diberikan kepada si mayyit. Sedangkan makanan yang diberikan kepada
penggali kubur juga merupakan sedekah dan wujud terimakasih atau imbalan dalam membantu mengurusi jenazah,
karena masyarakat Sidomulyo secara umum
tidak memberikan imbalan uang kepada penggali kubur namun hanya sekedar memberi
makanan tersebut.
Selanjutnya yaitu tradisi Tahlilan yang dilaksanakan pada
hari pertama sampai hari ke tujuh setelah meninggalnya si mayyit. Tahlilan ini
dilakukan untuk mendoakan si mayyit agar segala amal perbuatanya diterima oleh
Allah dan diampuni dosa-dosanya dengan membaca do’a-do’a dan kalimat Tayyibah.
Setelah kegiatan tahlilan tersebut usai, biasanya pemilik rumah juga
menyediakan makanan untuk jamaah tahlil. Hal ini sebagai bentuk penghormatan
dan ucapan terima kasih keluarga si mayyit kepada jamaah atas do’a yang telah
di panjatkan dan sebagai sedekah yang pahalanya ditujukan kepada si mayyit.
Namun tradisi menyediakan hidangan untuk orang yang
bertakziah, penggali kubur, dan jamaah tahlil tidak mengikat kepada seluruh
masyarakat Sidomulyo khususnya bagi warga yang kurang mampu secara ekonomi
sehingga tidak menjadi beban kepada keluarga si mayyit. Namun biasanya warga
yang kurang mampu tersebut mendapat bantuan dari tetangga atau kerabat yang
lain untuk menyediakan makanaan bagi pelayat, penggali kubur dan jamaah tahlil.
Tradisi menyajikan hidangan ini sering menjadi bahan
perbincangan di kalangan orang – orang Islam yang tidak memahami latar belakang
kehidupan orang – orang Indonesia dan adat mereka apalagi mereka yang baru
mempelajari ajaran Islam dengan semangat kembali ke Al Qur’an dan Al Hadits.
Dengan cepat mereka akan mengatakan haram karena itu adalah bid’ah, karena
semua bid’ah itu sesat dan semua yang sesat akan bertempat di neraka. Selalu
itu dalil yang dilontarkan guna mengikis adat dan budaya asli Indonesia.
Sehingga timbul kontoversi apakah hidangan dalam selamatan kematian ini sesuai
dengan ajaran islam atau melenceng dari syariat islam.
B.
Analisis Masalah
Suguhan makanan yang dibuat oleh keluarga duka cita atau keluarga
orang yang meninggal kepada orang-orang yang berta’ziyah atau jamaah tahlil
(selamatan kematian), diperselisihkan di kalangan ulama menjadi 3 pendapat.
Pertama,
pendapat yang menyatakan makruh. Pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama
madzhab empat, seperti dikutip oleh Syaikh al-Bakri dalam kitab I’anah
al-Thalibin dengan mengutip fatwa gurunya, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
berikut ini:
“Apa yang dilakukan oleh manusia berupa
berkumbul di rumah keluarga duka cita dan menyediakan makanan adalah termasuk
perbuatan bid’ah yang munkar. Dalam Hasyiyah al-Jamal diterangkan, “Di antara
bid’ah yang munkar adalah tradisi selamatan (kenduri) kematian yang disebut
wahsyah, juma’, dan arba’in (nama-nama tradisi di Hijaz). Bahkan semua itu
dihukumi haram apabila makanan tersebut diambil dari harta mahjur ‘alaih (orang
yang belum dibolehkan mentasarufkan hartanya seperti anak yang belum dewasa),
atau harta si mati yang memiliki hutang, atau dapat menimbulkan madarat pada si
mati tersebut dan sesamanya.” Tidak diragukan lagi bahwa mencegah manusia dari
bid’ah yang munkar ini, dapat menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, membuka
sekian banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup sekian banyak pintu-pintu
kejelekan. Karena manusia yang melakukannya telah banyak memaksakan diri yang
membawa pada hukum keharaman.” (Syaikh al-Bakri, I’anah al-Thalibin, juz 2 hal.
145-146).
Demikian fatwa Sayyid Ahmad Zaini Dahlan al-Syafi’i yang
dikutip oleh Syaikh al-Bakri dalam I’anah al-Thalibin. Kesimpulan dari
fatwa tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, selamatan pada hari
kematian, sampai hari ketujuh dan hari empat puluh adalah makruh, apabila
makanan yang disediakan berasal dari harta keluarga si mati. Kedua,
selamatan tersebut bisa menjadi haram, apabila makanan disediakan dari harta mahjur
‘alaih (orang yang tidak boleh mengelola hartanya seperti anak yatim/belum
dewasa), atau dari harta si mati yang mempunyai hutang, atau dapat menimbulkan
madarat dan sesamanya. Demikian kesimpulan fatwa Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan
yang bermadzhab Syafi’i. Fatwa yang sama juga dikemukakan oleh ulama madzhab
Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Meski demikian, apabila makanan yang disediakan kepada
penta’ziyah tersebut berasal dari bantuan para tetangga, maka status hukum
makruhnya menjadi hilang dan berubah menjadi tidak makruh. Hal ini seperti
dikemukakan oleh Syaikh Abdul Karim Bayyarah al-Baghdadi, mufti madzhab Syafi’i
di Iraq, dalam kitabnya Jawahir al-Fatawa. Dalam hal ini, ia berkata:
“Apabila orang-orang yang berta’ziyah yang
dewasa berkumpul, lalu masing-masing mereka menyerahkan sejumlah uang, atau
mengumpulkan sesuatu yang mencukupi untuk konsumsi perkumpulan (selamatan
kematian) berupa kebutuhan makanan dan minuman, dan mengirimkannya kepada
keluarga si mati atau salah satu tetangganya, lalu mereka menjamahnya setelah
sampai di tempat ta’ziyah itu, maka hal tersebut tidak mengandung hukum
kesulitan (tidak apa-apa). kaAllah lah yang menunjukkan pada kebenaran.”
(Jawahir al-Fatawa, juz 1, hal. 178).
Kedua,
pendapat yang menyatakan boleh atau mubah. Pendapat ini diriwayatkan dari
Khalifah Umar, Sayyidah Aisyah dan Imam Malik bin Anas. Riwayat dari Khalifah
Umar bin al-Khatthab disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai berikut:
“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar
Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali
orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau,
sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat
selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah
mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan
telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang
menyelimuti.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328).
Hal yang sama juga dilakukan oleh Sayyidah Aisyah, istri
Nabi SAW. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari
keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk
berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang
dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung
dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop
tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian,
karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat
menenangkan hari orang yang sedang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.”
(HR. Muslim [2216]).
Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa
pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah
tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan.
Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan
bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya
yang sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para
penta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.
Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki,
berpandangan bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat
dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah
al-Jurdani berkata:
“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi
tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik.
Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah
al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam
Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
Ketiga,
pendapat yang mengatakan sunnat. Pendapat ini diriwayatkan dari kaum salaf
sejak generasi sahabat yang menganjurkan bersedekah makanan selama tujuh hari
kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin
Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:
“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata:
“Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari,
karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari
tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd,
al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh
Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib
al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi
lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).
Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan
secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut
diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal
al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam
al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadits Imam Thawus tersebut dihukumi
marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi
lil-Fatawi.
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di
Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah,
sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.
C.
Solusi Masalah
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa
tradisi hidangan makanan dari keluarga duka cita untuk orang-orang yang
berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara
pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan sunnat. Di antara mereka tidak ada
pendapat yang menyatakan haram. Bahkan untuk selamatan tujuh hari, berdasarkan
riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat
dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah.
Disamping itu kegiatan jamuan makanan yang diberikan kepada
pentakziah, penggali kubur, jamaah tahlil memiliki berbagai manfaat dan
merupakan amalan dalam islam seperti bersedekah, menghormati tamu dan ucapan
terimakasih. Selain itu juga memiliki nilai sosial dalam masyarakat.
Namun demikian, tradisi jamuan ini tidak harus dijadikan hal
yang wajib dalam masyarakat. Sebaiknya dilaksanakan jika pihak keluarga si
mayyit tidak mengalami keberatan sehingga tidak menjadikan beban tanbahan di
samping beban kesedihan akibat meninggalnya anggota keluarga.
Jadi dalam menanggapi masalah ini tidak perlu saling
menyalahkan antara yang umat muslim yang tidak melaksanakan tradisi hidangan
kepada muslim yang melaksanakanya. Jangan sampai masalah perbedaan persepsi ini
menjadikan perpecahan antara umat islam sendiri.
Comments
Post a Comment