Karangan Deskripsi dan Narasi
Karangan merupakan karya tulis hasil
dari kegiatan seseorang untuk mengungkapkan gagasan dan menyampaikanya melalui
bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami. Lima jenis karangan yang umum
dijumpai dalam keseharian adalah narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan
persuasi.
A.
DESKRIPSI
1.
PENGERTIAN
DESKRIPSI
Kata deskripsi berasal dari kata
Latin decribere yang berarti menggambarkan atau memberikan suatu hal.
Dari segi istilah, deskripsi adalah suatu bentuk karangan yang
melukiskan dan menggambarkan sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya, sehingga
pembaca dapat mencitra (mendengar, melihat, mencium, dan merasakan) apa yang
dilukiskan itu sesuai dengan citra penulisnya. Maksudnya, penulis ingin
menyampaikan kesan-kesan tentang sesuatu, dengan sifat dan gerak-geriknya
(Soeparno, 2004: 4.5).
Karangan deskripsi merupakan karangan
yang disusun untuk melukiskan sesuatu dengan tujuan untuk menghidupkan kesan
dan daya khayal mendalam pada si pembaca. Untuk mencapai tujuan di atas, kita
dituntut untuk mampu memilih dan mendayagunakan kata-kata yang dapat
mengekpresikan kesan serta citra indrawi dan suasana batiniah pembaca. Sesuatu
yang kita deskripsikan harus disajikan secara hidup, gamblang, dan tepat.
Untuk menuliskan sebuah deskripsi
perlulah kita mengamati dengan tajam dengan memanfaatkan semua alat indera
kita. Bukan hanya penglihatan saja, seperti yang banyak dilakukan oleh sebagian
penulis pemula. Ada berbagai cara menuliskan deskripsi, dan perbedaan-perbedaan
ini timbul karena pada dasarnya tidak ada dua orang manusia yang mempunyai
pengamatan yang sama, dan lagi pula tujuan pengamatan itu pun berbeda-beda
pula. Mereka masing-masing melakukan pilihan terhadap informasi atau hasil
observasi yang akan mereka ajukan, yang sesuai dengan apa yang ingin mereka capai
dengan pengajuan informasi tersebut.
Dalam menulis suatu karangan deskripsi
yang baik dituntut tiga hal (Akhadiah, dkk. :1997) yakni:
v Kesanggupan
berbahasa kita yang memiliki kekayaan nuansa dan bentuk.
v Kecermatan
pengamatan dan keluasan pengetahuan kita tentang sifat, ciri, dan wujud objek
yang dideskripsikan.
v Kemampuan
kita memilih detail khusus yang dapat menunjang ketepatan dan keterhidupan
deskripsi.
2.
CIRI-CIRI
DESKRIPSI
v Melukiskan
atau menggambarkan suatu objek tertentu.
v Bertujuan
untuk menciptakan kesan atau pengalaman pada diri pembaca agar seolah-olah
mereka melihat, merasakan, mengalami atau mendengar, sendiri suatu objek
yang dideskripsikan.
v Sifat
penulisannya objektif karena selalu mengambil objek tertentu, yang dapat
berupa tempat, manusia, dan hal yang dipersonifikasikan.
v Penulisannya
dapat menggunakan cara atau metode realistis (objektif), impresionistis
(subjektif), atau sikap penulis.
3. PENDEKATAN
DESKRIPSI
Pendekatan pendeskripsian dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis:
a. Pendekatan
Ekspositoris
Penulis berusaha
agar deskripsi yang dibuat dapat memberi keterangan sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya, sehingga pembaca seolah-olah dapat ikut melihat atau merasakan
objek yang dideskripsikan. Karangan jenis ini berisi daftar rincian sesuatu
secara lengkap atau agak lengkap, sehingga pembaca dengan penalarannya
memperoleh kesan keseluruhan tentang sesuatu. Pemerolehan kesan ini lebih
banyak didasarkan pada proses penalaran ketimbang emosional.
Contoh:
Ratusan
ribu pengunjuk rasa berpawai di pusat kota Los Angeles. Mereka memprotes
rancangan peraturan yang secara dramatis akan memperketat ketentuan imigrasi
Amerika Serikat. Pada puncak unjuk rasa, 500.000 orang terlibat, demikian
dilaporkan oleh Kantor Berita Associated Press (AP) Minggu (26/3).
Rancangan peraturan tersebut akan membuat semua pelanggar imigrasi yang
tercatat, mengharuskan semua majikan menjelaskan status pegawai mereka, dan
membangun tembok di sebagian besar perbatasan AS-Meksiko. Majelis Perwakilan
Rakyat sudah mengesahkan rancangan undang – undang itu. (Kyodo, Anti Pikiran
Rakyat, 27 Maret 2006).
b. Pendekatan
Impresionistik
Bertujuan untuk
mendapatkan tanggapan emosional pembaca atau kesan pembaca. Deskripsi ini di
antaranya ditentukan juga oleh kesan apa yang diinginkan penulisnya.
Contoh:
Pada
hari Rabu sore, hanya 12 jam kemudian separuh jantung kota telah lumat. Pada
waktu itu, saya melihat nyala api dari teluk. Kelihatannya sangat tenang, tidak
ada angin bertiup. Tetapi dari sekeliling kota angin menyerbu ke dalam. Udara
panas membumbung ke angkasa. Dengan demikian, udara sekitarnya tertarik ke
dalam kota.Keadaan seperti tenang ini berlangsung siang malam, tetapi di dekat
nyala api, angin yang menyerbu masuk hampir menyamai kecepatan angin topan.
c. Pendekatan
Menurut Sikap Pengarang
Pendekatan ini
bergantung kepada tujuan yang ingin dicapai , sifat objek, dan pembaca. Dalam
menguraikan gagasannya penulis mungkin mengharapkan agar pembaca merasa tidak
puas terhadap suatu tindakan atau keadaan atau penulis menginginkan agar
pembaca juga harus merasakan bahwa persoalan yang dihadapi merupakan masalah
yang gawat. Penulis juga dapat membayangkan bahwa akanterjadi sesuatu yang
tidak diinginkan, sehingga pembaca dari mula sudah disiapkan dengan sebuah
perasaan yang kurang enak, seram, takut, dan sebagainya ( Akhadiah,1997).
Pengarang harus
menetapkan sikap yang akan diterapkan sebelum mulai menulis. Semua rincian
harus dipusatkan untuk menunjang efek yang ingin dihasilkan. Perincian yang
tidak ada kaitannya dan menimbulkan keragu-raguan pada pembaca harus
disingkirkan. Penulis dapat memilih, misalnya salah satu sikap, seperti masa
bodoh, bersungguh-sungguh, cermat, sikap seenaknya, atau sikap yang ironis (
Keraf, 1981).
Contoh:
Seorang
lelaki kelihatan mengorek-ngorek tumpukan sampah. Dia kelihatan mendapat
beberapa kardus bekas, sudah agak lusuh dan basah, tapi dimasukkannya juga ke
dalam keranjang besar yang dibawanya di punggungnya. Tidak ada yang
memperhatikannya, kecuali saya agaknya. Astaga, pikir saya, malam-malam begini
masih ada orang yang mencari barang bekas di tumpukan sampah. Namun, saya dan
teman saya terus saja menikmati bakso. Dari dekat bak sampah, di malam yang
sejuk seperti ini, bakso ini memang terasa lebih sedap. (Apipudin SM,1994 dalam
Ismail Marahimin, 1994 : 77).
4. MACAM-MACAM
DESKRIPSI
Berdasarkan jenis objek yang dapat
dideskripsikan, karangan deskripsi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Deskripsi
Orang
v Deskripsi Keadaan Fisik
Deskripsi fisik bertujuan memberi
gambaran yang sejelas-jelasnya tentang keadaan tubuh seseorang. Biasanya
deskripsinya banyak bersifat objektif.
Contoh:
Hari
masih gelap, malam baru saja usai bertugas. Sekira pukul 3.00 WIB kesibukan
pecah di sebuah rumah di kawasan Padasuka Bandung Timur. Laki-laki muda,
tampan, badannya tegap, wajahnya selalu tersenyum , matanya hampir tak pernah
terpejam lelap, ia selalu terjaga menunggu subuh turun menyelimuti bumi
Parahyangan. Saat itulah, ia terjaga dan bergegas bangun. (Ratna Djuwita,
Pikiran Rakyat :25 Maret 2006 – 30)
v
Deskripsi
Keadaan Sekitar
Deskripsi keadan sekitar adalah
penggambaran keadaan yang mengelilingi sang tokoh, misalnya penggambarana
aktivitas-aktivitasnya yang dilakukan, pekerjaan atau, tempat kediaman, dan
kendaraan, yang ikut menggambarkan watak seseorang.
Contoh:
Kabarnya
yang tinggal di rumah tua berpagar tembok tinggi itu adalah seorang kakek yang
hidup sendiri. Rumah itu terletak di samping rumahku. Pagar tembok tinggi
menutup rumahnya dari pandangan luar. Hanya ada satu pintu masuk dari muka,
ditutup dengan anyaman bambu yang rapat. Aku belum pernah melihat kakek itu.
Setelah kucoba naik ke pagar tembok, melalui sebuah pohon kates di
pekaranganku, terbentanglah sebuah pemandangan. Tampak mobil tua bertengger di
pojok rumah. Bunga-bunga merah, biru, kuning, ungu. Daun-daunnya hijau. Sebuah
rumah jawa. Bersih seperti baru saja disapu dan alangkah banyak bunga-bunga di
taman. (Kuntowijoyo dalam Yoyo Mulyana, dkk. 1998: 114-115)
v
Deskripsi
Watak atau Tingkah Perbuatan
Deskripsi watak atau tingkah perbuatan adalah penggambaran watak
(karakter) seorang tokoh yang biasanya melalui penggambaran tingkah
perbuatannya.
Contoh:
Di
depan ayahku, aku tidak bisa apa-apa. Tangannya yang kasar penuh napsu untuk
menghancurkan, memegang pundakku. Aku bungkam. “Ayo!” perintah ayah, Buang
jauh-jauh bunga-bunga itu, heh!” Aku membungkuk, memungut bunga-bunga. Dari
mataku keluar air mata. Aku ingin menangis, bukan karena takut ayah. Tetapi
bunga-bunga itu. Aku harus membuang jauh-jauh dengan tanganku. Bunga-bunga itu
penuh di tanganku. “Mana?” Aku mengulurkan kepada ayah. Diremasnya bunga –
bunga itu. Jantungku tersirap menahan utuk tenang. ”Dan bersihkan air ini
sampai kering, buyung!” bentak ayah. ( Kuntowijoyo, dalam Yoyo Mulyana dkk.
1988: 126)
v
Deskripsi
Gagasan-gagasan Tokoh
Deskripsi ini tidak dapat diserap oleh
panca indera, tetapi unsur fisik mempunyai hubungan yang sangat erat. Pancaran wajah, pandangan mata,
gerak bibir, dan gerak tubuh merupakan petunjuk tentang keadaan perasaan
seseorang pada waktu itu.
Contoh:
“Untuk
apa tangan ini, heh!” katanya sambil mengangkat kedua tanganku dengan kedua
tangannya. Aku tidak tahu, jadi diam saja. “Untuk kerja!” sambung ayah. “Engkau
laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engkau mesti bekerja. Engkau bukan iblis
atau malaikat buyung. Ayo, timba air sebanyak-banyaknya. Cuci tanganmu untuk
kotor kembali oleh kerja, tahu!” Tanganmu mesti kotor, seperti tangan bapamu,
heh!” Ayah lalu meratakan gemuk di tanganku. Aku tidak melawan. Ayahku sudah
nafsu. Aku tersenyum. Ibu berdiri saja. Ia tidak berbuat apa-apa.Aku makin
lebar tersenyum. Kulihat ibuku pucat ketika memandangku. Kenapa ibu pucat
begitu ? Tersenyumlah! Tanganku kotor sampai lengan. Ayah menampar kedua
pipiku.
b. Deskripsi
Tempat
Tidak ada
peristiwa yang terlepas dari lingkungan dan tempat. Semua kisah akan selalu
mempunyai latar belakang tempat. Jalannya sebuah peristwa akan lebih menarik
jika dikaitkan dengan tempat terjadinya peristiwa. Memang, tempat memegang
peranan yang sangat penting (Akhadiah, 1997).
Dalam menyusun
rincian suatu tempat hendaknya mengikuti cara yang logis agar apa yang kita
lukiskan menjadi lebih jelas. Selain itu, kita pun harus pandai memilih dan
memilah detail-detail dari suatu tempat yang dideskripsikan, sehingga detail –
detail yang dipilih betul-betul mempunyai hubungan langsung dalam peristiwa
yang dideskripsikannya.
Dalam memilih
cara yang paling baik untuk melukiskan tempat perlu mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
v Suasana
Hati
Suasana
hati yang menonjol untuk dijadikan landasan, suasana hati yang menguasai pikiran
pengarang pada waktu itu, mungkin perasaan pengarang seluruhnya yang
mempengaruhi penyerapannya dan mengabaikan kenyataan fisik, mungkin juga
penyerapan itu dilakukan dengan cermat dan berdasarkan fakta , sehingga akan
menghasilkan deskripti sujektif atau deskripsi objaktif.
v Bagian
yang Relevan
Memilih
detail-detail yang relevan untuk dapat menggambarkan suasana hati.
v Urutan
Penyajian
Menetapkan urutan yang
paling baik dalam menampilkan detail-detail yang dipilih (Keraf, 1981).
Contoh: Pukul
lima, suatu senja yang damai di kampus. Matahari sudah condong jauh ke barat
masih memancarkan sisa cahanya melalui sela-sela daun cemara dan akasia tepat
di hadapanku. Pancaran sinar yang biasanya tajam menyengat di siang hari bulan
September ini, sekarang terasa hangat dan lembut, rasanya seperti sedang
berjemur matahari pagi di villa Cipayung. Pada saat seperti sekarang ini,
kebanyakan mahasiswa sudah pulang ke pondokan masing-masing. Yang tersisa
adalah yang tinggal di asrama ( yang memang terletak di dalam kampus), atau
para mahasiswa yang bermaksud numpang tidur di asrama. Tak terdengar lagi suara
gejrengan
gitar sember yang biasa dimainkan oleh beberapa mahasiswa
yang menunggu giliran kuliah sambil ngobrol di teras teater. (Nur Rachmi Mahasiswa FSUI pengikut
Penulisan Populer, 1985/1986).
5.
MENYUSUN DESKRIPSI
Langkah-langkah yang dapat dilakukan
dalam menyusun karangan deskripsi, antara lain:
a. Menentukan objek yang akan dijadikan
sebagai idea tau bahan
b. Lakukan pengamatan secara cermat,
terperinci, dan sungguh-sungguh
c. Mengumpulkan data maupun
informasi-informasi yang dapat menunjang objek pengamatan
d. Ide / gagasan yang sudah terolah di
dalam diri dan pikiran yang penuh daya imajinasi diwujudkan dengan perantara
bahasa karangan
e. Pengolahan pada daya cipta
B. NARASI
1. PENGERTIAN
NARASI
Narasi atau sering disebut naratif berasal dari bahasa Inggris narration (cerita)
dan narrative (yang menceritakan). Karangan narasi menyajikan
serangkaian peristiwa atau kejadian menurut urutan terjadinya (kronologis)
dengan maksud memberi makna kepada sebuah atau serangkaian kejadian, sehingga
pembaca dapat mengambil hikmah dari cerita itu.
2.
CIRI-CIRI
NARASI
v Menyajikan
serangkaian berita atau peristiwa
v Disajikan
dalam urutan waktu serta kejadian yang menunjukkan peristiwa awal sampai akhir
v Menampilkan
pelaku peristiwa atau kejadian
v Latar
(setting) digambarkan secara hidup dan terperinci
3.
MACAM-MACAM
NARASI
1. Narasi
Informasional / Ekspositoris
Karangan narasi
informasional atau narasi ekspositoris digunakan untuk karangan seperti biografi,
autubiografi, sejarah, atau proses cara melakukan sesuatu hal. Karena bertujuan
memberikan informasi, maka narasi jenis ini bersifat faktual dan secara
esensial merupakan hasil pengamatan pengarang.
Ciri-ciri dari
karangan informasional (ekspositoris):
v Memperluas
pengetahuan
v Menyampaikan
informasi faktual mengenai suatu kejadian
v Didasarkan
pada penalaran untuk mencapai kesepakatan rasional
v Bahasanya
informatif dengan titik berat pada pemakaian kata-kata denotatif
Contoh: Hj. Kuraesih, “35 Tahun Baca ‘PR’ tidak Bosan”
Lebih
dari 35 tahun membaca Harian Umum Pikiran Rakyat, tapi ibu yang satu ini
tidak pernah bosan. Selama itu ia tetap setia berlangganan “PR” dan tiap hari
membaca Pikiran Rakyat dari halaman satu sampai halaman akhir, dari
mulai berita sampai iklan-iklannya. Ketika ditemui Direktur Pemasaran PT PR
Bandung H.Januar P.Ruswita, Rabu lalu di Purwakarta, Ibu Hj.Kuraesih atau lebih
dikenal dipanggil Ibu Laksana, mengaku mulai berlangganan “PR” kira-kira tahun
1969 yaitu saat “PR” melakukan operasi pengembangan pasar di Kota Purwakarta. “Ibu
masih ingat ketika itu posko operasi pengembangan “PR” bertempat di sebuah
hotel di depan rumah. Jadi selama beberapa hari, ibu mendapat koran gratis.
Karena tertarik membaca “PR”, ibu berlangganan dan bahkan terus ketagihan
sehingga menjadi pelanggan tetap sampai hari ini. Ibu tidak bosan baca “PR”
selama 35tahun,” katanya. (Ruhimat, Pikiran Rakyat :25 Maret 2006).
2.
Narasi Artistik / Sugestif
Karangan
narasi artistik atau narasi sugestif digunakan untuk karangan imajinatif,
misalnya cerpen, novel, roman atau drama. Bersifat fiktif dan secara esensial
merupakan hasil imajinasi pengarang dan mengisahkan suatu kehidupan yang hanya
hidup dalam benak pengarang yang tidak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun
tidak menutup kemungkinan bahan-bahan ciptaan pengarang itu ada dalam kehidupan
nyata (faktual).
Ciri-ciri dari karangan
narasi artistik (sugestif):
v Menyampaikan
sesuatu makna atau suatu amanat yang tersirat
v Menimbulkan
daya khayal
v Penalaran
hanya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan makna, sehingga kalau perlu
penalaran dapat dilanggar
v Bahasanya
figuratif dengan kata–kata konotatif
Contoh:
Tanganku
dia bimbing, kakiku berjalan dengan langkah cepat mengikutinya. Kami duduk di
ruang tengah. Ada kursi-kursi di sana. Aku dimintanya duduk di sampingnya.
“
Duduklah, cucu. Di samping kakek. Nah. Siapa nanamu?”
Aku
sebutkan namaku, sambil mataku melayang ke sekitar. Semuanya penuh bunga. Aku
menatap wajah kakek, kerut-merut kulit tua. Aku sebutkan namaku, sambil mataku
melayang ke sekitar. Semuanya penuh bunga. Aku menatap wajah kakek, kerut-merut
kulit tua. Kataku, “Banyak sekali bunga, Kakek?”
“
O, ya banyak. Aku suka bunga-bunga.”
“
Belum pernah kulihat yang sebanyak ini, sebelumnya.”
“
Tentu saja. Kenapa tidak sejak dulu datang ke sini?”
“
Kenapa kakek tidak datang ke rumahku?”
Ia
tertawa mengusap-usap kepalaku. “Pintar, ya. Kau sering memanjat pagar itu,
bukan?”
“
Ya. Ternyata kakek mengetahui tingkahku. Siapa memberi tahu?”
“
Mataku, cucu.”
“
Hanya untuk melihat-lihat saja. Kek.”
Ia
tertawa terguncang badannya. “Tentu saja aku tahu itu. Kau anak baik, cucu. Karena,
mata batinku lebih tajam dari mata kepalaku.” (Kuntowijoyo dalam Yoyo M. dkk.
1998:119).
4. PRINSIP-PRINSIP
NARASI
Prinsip
dasar narasi diantaranya yaitu alur, penokohan,
latar, sudat pandang, dan pemilihan detail peristiwa.
a. Alur (Plot)
Pengertian
alur atau plot dapat dipahami melalui contoh berikut: Raja Mati itu
disebut jalan cerita. Akan tetapi Raja mati karena sakit hati dalah alur.
Apa
yang disebut alur dalam narasi memanglah sulit dicari. Alur bersembunyi dibalik
jalannya cerita (Suparno, 2004:4.36). Perlu dipahami benar, namun jalan cerita
bukanlah alur. Jalan cerita hanyalah manifestasi , bentuk wadah, bentuk
jasmaniah dari alur cerita. Alur dan jalan cerita memang tak terpisahkan,
tetapi harus dibedakan. Kadang–kadang orang sering mengacaukan kedua pengertian
tersebut. Jalan cerita bermuatan kejadian-kejadian. Akan tetapi, suatu kejadian
ada karena ada sebabnya, yaitu segi rohaniah dari kejadian. Suatu kejadian baru
disebut narasi kalau di dalamnya ada perkembangan kejadian. Dari suatu kejadian
berkembang kalau ada yang menyebabkan terjadinya perkembangan. Dalam hal ini,
adanya konflik.
Intisari
alur adalah konflik. Tetapi suatu konflik dalam narasi tidak dapat dipaparkan
begitu saja. Harus ada dasarnya. Oleh karena itu, alur sering dibagi lagi
menjadi beberapa elemen berikut ini:
v Pengenalan (eksposisi
dimana pengarang mulai melukiskan situasi dan memperkenalkan tokoh-tokoh cerita
sebagai pendahuluan)
v Timbulnya konflik (pengarang
mulai memperkenalkan pertikaian-pertikaian yang terjadi di antara tokoh)
v Konflik memuncak (pertikaian
semakin meruncing)
v Klimaks (puncak
pertikaian)
v Pemecahan masalah (resolusi
dari masalah yang muncul)
v Ending (akhir
cerita)
Itulah
susunan alur yang berpusat pada konflik. Dengan adanya alur di atas, pengarang
membawa pembaca ke dalam suatu keadaan yang menegangkan, timbul suatu tegangan (suspense)
dalam cerita. Dari suspense inilah yang menarik pembaca untuk terus
mengikuti cerita.
b.
Penokohan
Adapun
salah satu ciri khas narasi adalah adanya pengisahan tokoh cerita bergerak
dalam suatu rangkaian perbuatan atau pengisahan tokoh cerita terlibat dalam
suatu peristiwa atau kejadian. Tindakan, peristiwa, kejadian itu disusun
bersama-sama, sehingga mendapatkan kesan atau efek tunggal.
c.
Latar ( Setting)
Latar di sini adalah tempat dan atau waktu
terjadinya perbuatan tokoh atau peristiwa yang dialami tokoh. Dalam karangan
narasi kadang tidak disebutkan secara jelas tempat atau waktu tokoh berbuat
atau mengalami peristiwa tertentu. Sering kita jumpai cerita hanya mengisahkan
latar secara umum.
Contoh:
Senja
di sebuah kampus, di sebuah pantai, di sebuah kampung. di malam gelap, di pagi
hari nan indah dan sebagainya.
Namun, ada juga yang menyebutkan latar tempat dan
waktu secara pasti dan jelas.
d. Sudut
Pandang (Point of View)
Sebelum
mengarang narasi terlebih dahulu kita harus menentukan sudut pandang. Sudut
pandang dalam narasi akan menjawab pertanyaan siapakah yang menceritakan kisah
ini. Apa pun sudut pandang yang dipilih pengarang akan menentukan sekali gaya
dan corak cerita karena watak dan pribadi si pencerita akan banyak menentukan
cerita yang dituturkan pengarang kepada pembacanya. Seperti kita maklumi bahwa
setiap orang mempunyai pandangan hidup, intelegensi, kepercayaan, dan teperamen
yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, keputusan pengarang untuk menentukan siapa
yang akan menceritakan kisah, menetukan sekali apa yang ada dalam cerita. Jika
pencerita (narrator) berbeda maka detail-detail cerita yang dipilih pun
berbeda pula.
Adapun kedudukan
narator dalam cerita terdiri atas empat macam sebagi berikut:
v
Narator
Serba Tahu (Omniscient point of view)
Narator
serba tahu bertindak sebagai pencipta segalanya. Dia tahu segalanya. Dia dapat
menciptakan apa saja yang diperlukannya untuk melengkapi ceritanya, sehingga
tercapai apa yang diinginkannya. Dia bisa mengeluarmasukkan para tokohnya. Dia
bisa mengemukakan perasaan, kesadaran, dan jalan pikiran para tokoh cerita.
Pokoknya, narator bertindak sebagai Tuhan terhadap makhluknya yang serba
mengetahui mulai dari kegiatan yang bersifat jasmaniah sampai dengan pada
kegiatan yang bersifat rohaniah, mulai dari tempat yang tampak sampai pada
tempat yang tersembunyi, mulai dari masalah biasa sampai dengan masalah yang
sangat rahasia, dan mulai dari kegiatan yang dilakukan secara berkelompok
sampai dengan pada kegiatan yang hanya dilakukan sendiri di tempat terpencil.
Oleh karena itu, teknih ini cocok untuk cerita yang bersifat sejarah, edukatif,
dan humoris. Cerita yang memberi tahu pengalaman baru atau tema petualangan
yang lebih tepat memakai gaya bercerita Omniscient.
v
Narator
(ikut) aktif (Narrator acting)
Narator
juga aktor yang terlibat dalam cerita. Kadang-kadang fungsinya sebagai tokoh
sentral. Tampak dalam penggunaan kata ganti orang pertama (aku, saya, kami).
Dengan kedudukan demikian narator hanya dapat melihat dan mendengar apa yang
orang biasa dapat melihat dan mendengarnya. Narator kemudian mencatat tentang
apa yang dikatakan atau dilakukan oleh tokoh lain dalam suatu jarak penglihatan
dan pendengaran. Narator tidak dapat membaca pikiran tokoh lain kecuali hanya
menafsirkan dari tingkah laku fisiknya. Hal-hal yang bersifat psikologis dapat
dikisahkan. Itu pun yang menyangkut dirinya sendiri.
v
Narator
Bertindak Objektif (Objective point of view)
Pengarang
menceritakan apa yang terjadi, seperti penonton melihat pementasan drama.
Pengarang sama sekali tidak mau masuk ke dalam pikiran para tokoh. Dalam
kenyataannya, memang orang hanya dapat melihat apa yang diperbuat orang lain.
Dengan melihat perbuatan orang lain pengarang menilai kejiwaannya,
kepribadiannya, jalan pikirannya, dan perasaannya. Untuk motif tindakan
pelakunya, pengarang hanya bisa menilai dari perbuatan para tokohnya. Dalam hal
ini, pembaca sangat diharapkan partisipasinya. Pembaca bebas menafsirkan apa
yang diceritakan pengarang.
v
Narator
Sebagai Peninjau
Dalam
teknik ini, pengarang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh
kejadian cerita kita ikuti bersama tokoh ini. Tokoh ini bisa bercerita tentang
pendapatnya atau perasaannya sendiri. Sementara, terhadap tokoh-tokoh lain ,
dia hanya bisa memberitahukan kepada kita seperti apa yang dia lihat saja.
Jadi, teknik ini berupa penuturan pengalaman seseorang. Pelaku utama sudut
pandang peninjau ini sering disebut teknik orang ketiga, yang pelakunya disebut
pengarang dia.
5. MENYUSUN
NARASI
a. Awal
narasi biasanya
berisi pengantar yaitu memperkenalkan suasana dan tokoh. Bagian awal harus
dibuat menarik agar dapat mengikat pembaca.
b. Bagian
tengah merupakan
bagian yang memunculkan suatu konflik.Konflik lalu diarahkan menuju klimaks
cerita. Setelah konfik timbul dan mencapai klimaks, secara berangsur-angsur
cerita akan mereda.
c. Akhir
cerita yang mereda ini memiliki cara
pengungkapan bermacam-macam. Ada yang menceritakannya dengan panjang, ada yang
singkat, ada pula yang berusaha menggantungkan akhir cerita dengan
mempersilakan pembaca untuk menebaknya sendiri.
Langkah menyusun narasi (terutama
yang berbentuk fiksi) cenderung dilakukan melalui proses kreatif, dimulai
dengan mencari, menemukan, dan menggali ide. Oleh karena itu, cerita dirangkai
dengan menggunakan "rumus" 5 W + 1 H, yang dapat disingkat menjadi ADIK SIMBA.
v (What) Apa yang akan diceritakan,
v (Where) Di mana seting/lokasi ceritanya,
v (When) Kapan peristiwa-peristiwa berlangsung,
v (Who) Siapa pelaku ceritanya,
v (Why) Mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi, dan
v (How) Bagaimana cerita itu dipaparkan.
Terima kasih, Mas sudah berbagi ilmu. Lengkap penjelasannya.
ReplyDeleteView my complete profile
ReplyDeleteView my complete profile
ReplyDelete